Pentingnya Supremasi Sipil dalam Hubungan Sipil-Militer

Febri S

JAKARTA – Prof. Abdul Haris Fatgehipon, Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ), memberikan pandangannya terkait pengesahan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Beliau menekankan bahwa langkah ini merupakan bagian dari kewenangan konstitusional DPR sebagai lembaga legislatif.​
Dalam diskusi publik bertajuk “Mengawal Konsistensi Reformasi TNI” yang berlangsung di Rawamangun, Jakarta Timur, pada 20 Maret 2025, Prof. Abdul Haris menyatakan, “Kita menghormati kewenangan legislasi yang dimiliki DPR dalam mengesahkan RUU TNI hari ini.”
Beliau juga menyoroti bahwa setelah berakhirnya Perang Dingin, peran militer dalam politik menjadi isu global. Konstitusi Indonesia telah menempatkan militer di bawah supremasi sipil, dan TNI sebagai institusi militer profesional menghormati pemerintahan sipil. Menurutnya, hubungan antara sipil dan militer di Indonesia seharusnya bersifat kontrol objektif, di mana militer diberikan otonomi dalam menjalankan tugasnya tanpa intervensi berlebihan dari pihak sipil.​
“Militer Indonesia adalah militer profesional yang fokus pada tugasnya,” tegas Prof. Abdul Haris.​
Beliau juga menyoroti reformasi TNI yang telah berlangsung sejak 1998, termasuk ditinggalkannya konsep Dwifungsi ABRI. Sebagai contoh, saat ini mantan pejabat tinggi militer dapat tidak terpilih dalam pemilihan kepala daerah, sesuatu yang dianggap mustahil pada era Orde Baru.​
Namun, Prof. Abdul Haris mengingatkan bahwa peran militer dalam pemerintahan dapat kembali menguat jika kekuatan sipil melemah akibat konflik internal partai politik atau ketidakstabilan pemerintahan sipil. “Ketidakstabilan pemerintahan sipil justru akan memperkuat posisi militer dalam pemerintahan,” pungkasnya.

Penulis:

Febri S

Tags

Related Post

Tinggalkan komentar