Misteri Rp60 Miliar di Balik Vonis Lepas Ekspor CPO: Jejak Suap dari Meja Hakim hingga Jaringan Korporasi

Nida Ulfa

Profil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel), Muhammad Arif Nuryanta.

Eksklusif: Ketua PN Jaksel Diduga Terima Suap untuk Bebaskan Terdakwa Korupsi, Jaksa Bongkar Peran Pegawai Sipil hingga Raksasa Industri Sawit

Jakarta – Di balik ketukan palu bebas dalam sidang perkara ekspor minyak kelapa sawit (CPO) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tersimpan dugaan transaksi gelap yang kini mulai terbongkar. Ketua PN Jaksel, M. Arif Nuryanta, diduga menjadi aktor kunci dalam skema suap bernilai fantastis: Rp60 miliar. Dana ini disebut-sebut berasal dari jaringan pendukung terdakwa yang ingin membebaskan dua nama penting dalam perkara korupsi ekspor CPO—Marcella Santoso dan Ariyanto.

Benang Merah Uang, Kekuasaan, dan Vonis

Dari hasil penelusuran Tim Investigasi, alur suap mengalir melalui tangan Rahyu Gunawan, seorang pegawai sipil di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Nama Rahyu bukanlah tokoh publik, tetapi dalam kasus ini, ia berperan sebagai kurir uang haram yang diyakini menjadi penghubung antara terdakwa dan pejabat pengadilan.

Menurut sumber internal kejaksaan, Rahyu memiliki akses khusus ke lingkaran hakim, dan relasinya dengan Arif Nuryanta menjadi sorotan utama. Dugaan sementara, uang suap diserahkan secara bertahap untuk mengatur vonis lepas dalam sidang yang melibatkan tiga korporasi raksasa: PT Wilmar Group, PT Permata Green Group, dan PT Musim MAS Group.

Vonis Lepas yang Mengundang Tanya

Dalam sidang akhir yang mengejutkan publik, majelis hakim menyatakan bahwa tindakan para terdakwa bukan merupakan pelanggaran hukum. Tidak hanya itu, hakim bahkan memerintahkan agar seluruh hak, posisi, dan martabat terdakwa direhabilitasi. Putusan ini sontak memicu pertanyaan: bagaimana mungkin pelaku korupsi ekspor komoditas strategis bisa lolos begitu saja?

Sumber dari internal kejaksaan menyebut bahwa putusan ini sudah “diatur jauh hari”, dengan kompensasi uang yang dialirkan ke pejabat pengadilan.

Pola Lama, Wajah Baru

Skema suap di balik putusan pengadilan bukan hal baru, namun nilai suap Rp60 miliar menjadikan kasus ini salah satu yang terbesar dalam sejarah pengadilan negeri di Indonesia. “Ini bukan cuma soal uang. Ini soal integritas sistem peradilan yang dijual murah,” ujar seorang penyidik senior Kejaksaan Agung yang enggan disebut namanya.

Pola yang ditemukan mirip dengan kasus-kasus sebelumnya: terdakwa dari kalangan elite bisnis, jaringan dalam birokrasi pengadilan, dan “perantara tidak resmi” yang menjembatani transaksi.

Penahanan dan Langkah Kejagung

Sebagai tindak lanjut, Kejaksaan Agung telah menahan empat tersangka: Arif Nuryanta, Rahyu Gunawan, Marcella Santoso, dan Ariyanto. Mereka akan ditahan selama 20 hari ke depan guna mendalami penyidikan.

Lebih dari sekadar penahanan, Kejagung kini memburu aliran dana lain yang diduga mengalir ke anggota panel hakim. Fokus penyidikan kini meluas ke rekening pribadi, transaksi mencurigakan, serta kemungkinan keterlibatan pihak-pihak lain di lingkungan pengadilan.

Aroma Korporasi dan Peluang Revisi Perkara

Dengan keterlibatan tiga grup perusahaan besar, kasus ini juga membuka ruang bagi penyelidikan lebih lanjut terhadap tanggung jawab korporasi. Apakah para eksekutif puncak mengetahui atau bahkan menyetujui pemberian suap? Apakah ini bentuk strategi bisnis licik untuk menghindari sanksi?

Pakar hukum korporasi menilai Kejaksaan harus segera menggandeng PPATK dan KPK untuk melacak rekening perusahaan dan pihak terkait. Jika ditemukan bukti kuat, perkara ini bisa dibuka kembali lewat upaya hukum luar biasa, seperti PK (Peninjauan Kembali).

Penulis:

Nida Ulfa

Related Post

Tinggalkan komentar