AS Resmi Naikkan Tarif Impor dari China Jadi Minimum 145%, Ketegangan Dagang Kian Memanas

Nida Ulfa

Foto: Presiden AS Donald Trump memegang perintah eksekutif yang ditandatangani tentang tarif, di Rose Garden di Gedung Putih di Washington, D.C., AS.

Pemerintah Amerika Serikat secara resmi menetapkan tarif minimum sebesar 145% terhadap produk impor dari China, Kamis (10/4/2025) waktu setempat. Keputusan ini mempertegas sikap keras Presiden Donald Trump terhadap salah satu mitra dagang terbesarnya, di tengah ketegangan perdagangan yang terus meningkat.

Kebijakan tarif ini diumumkan sehari setelah Trump menyatakan niatnya untuk menaikkan tarif atas barang-barang China menjadi 125%, sebagai balasan atas tindakan serupa dari pemerintah Beijing. Namun, Gedung Putih kemudian meluruskan bahwa angka 125% merupakan tambahan dari tarif awal sebesar 20% yang sudah diberlakukan sebelumnya, terutama sebagai hukuman atas dugaan keterlibatan China dalam rantai pasok fentanil ke Amerika Serikat.

Tarif Minimum 145% dan Lapisan Kebijakan yang Tumpang Tindih

Menurut laporan The New York Times, tarif 145% ini bukanlah batas atas, melainkan batas bawah. Artinya, angka tersebut masih bisa meningkat tergantung pada kebijakan tarif lain yang telah diberlakukan sebelumnya. Di antaranya:

  • Tarif 25% untuk baja, aluminium, mobil, dan suku cadangnya
  • Tarif tambahan hingga 25% untuk produk-produk tertentu yang ditetapkan pada masa jabatan pertama Trump
  • Tarif khusus atas barang-barang yang dianggap melanggar aturan perdagangan AS

Kombinasi berbagai kebijakan tarif ini menciptakan struktur biaya impor yang kompleks dan tidak menentu, membingungkan para pelaku usaha—baik perusahaan besar seperti ritel nasional maupun usaha kecil yang bergantung pada produk buatan China.

Dengan tarif setinggi ini, biaya impor akan melonjak drastis, berimbas langsung pada distributor, pengecer, dan pada akhirnya, konsumen. Bahkan, selisih antara tarif 125% dan 145% saja bisa berarti ribuan dolar untuk satu kontainer barang.

Dampak Langsung dan Respons Importir

China saat ini merupakan negara asal impor terbesar kedua bagi Amerika Serikat, dengan dominasi kuat sebagai produsen global berbagai barang konsumsi seperti ponsel, komputer, mainan, dan perlengkapan rumah tangga lainnya. Karena itu, tarif tinggi ini sangat memukul rantai pasok dan logistik di AS.

Meskipun kebijakan ini segera berlaku, pemerintah memberikan pengecualian sementara untuk barang-barang yang sudah dalam perjalanan ke AS. Barang yang dikirim lewat udara akan mulai dikenakan tarif dalam hitungan hari, sementara pengiriman laut akan terdampak saat tiba dalam beberapa minggu ke depan. Namun, pelonggaran ini hanya memberi ruang bernapas yang sangat sempit bagi importir untuk menyesuaikan strategi logistik mereka.

Banyak pelaku usaha mengaku waktu yang tersedia terlalu singkat untuk mencari alternatif sumber impor atau menyusun ulang jalur distribusi.

Trump Klaim Negara-negara Berebut Buat Kesepakatan

Di tengah kebijakan tarif yang agresif ini, Presiden Trump bersama Menteri Perdagangan Howard Lutnick menyatakan bahwa negara-negara lain mulai mendekati AS untuk membuat kesepakatan guna menghindari dampak ekonomi yang lebih luas.

“Semua orang ingin datang dan membuat kesepakatan. Kami bekerja sama dengan banyak negara, dan semuanya akan berjalan dengan sangat baik,” ujar Trump dalam rapat kabinet.

Hal senada disampaikan oleh Lutnick, yang menyebut bahwa langkah tegas Trump telah memaksa negara-negara lain untuk memperlakukan AS dengan lebih hormat.

Namun demikian, belum ada kejelasan mengenai negara mana saja yang tengah bernegosiasi dan jenis kesepakatan apa yang sedang dibahas. Pengamat memperkirakan bahwa sebagian besar kesepakatan yang ditawarkan kemungkinan bersifat terbatas, bukan perjanjian dagang menyeluruh yang membutuhkan waktu bertahun-tahun dan persetujuan kongres.

Kesepakatan terbatas ini mungkin memberi manfaat jangka pendek bagi eksportir tertentu, tetapi dinilai tidak akan signifikan membantu ekonomi AS secara keseluruhan atau menekan defisit perdagangan, yang menjadi fokus utama Trump selama masa jabatannya.

Penulis:

Nida Ulfa

Related Post

Tinggalkan komentar